Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali Oleh Adang Suprapto
L
eak Desti di Bali dari jaman dulu kala sudah menjadi fenomena yang tak
pernah sirna dimakan jaman, keberadaannya dari dulu menjadi momok yang
menakutkan masyarakat.
Leak Desti adalah perwujudan
ilmu leak tingkat paling bawah yaitu perwujudannya bisa berbentuk
binatang yang namanya Lelakut yaitu sejenis kadal yang besar berbadan
hitam loreng-loreng, berkepala manusia berwajah seram dan hitam,
rambutnya terurai, taringnya panjang, giginya runcing, matanya lebar
dan menyala keluar api berwarna hijau, mempunyai ekor panjang warnannya
loreng hitam putih.
Leak
Desti ada juga berbentuk binatang yang namanya Bebae yaitu sejenis
binatang kambing berbulu putih mulus, mempunyai telinga panjang menjulur
kebawah sampai menyentuh tanah.
Leak Desti ini sasarannya adalah
orang-orang yang penakut sehingga kalau orang yang ketakutan ini
melihat leak Desti maka ia akan lari terbirit-birit dan bisa terjatuh
dan pada saat jatuh itulah maka Leak Desti ini akan menyerang dan akan
mengisap darah orang yang terjatuh tadi.
Disamping orang yang ketakutan
juga bisa disasar anak-anak kecil terutama bayi-bayi sehingga bayi-bayi
itu bisa menangis terus-menerus dan tidak mau menyusu pada ibunya dan
lama-lama sampai anak kecil tersebut jatuh sakit.
Leak Desti ini di Bali ada
penangkalnya yaitu melalui orang-orang Wiku yaitu orang yang sudah
menguasai ilmu pengobatan yang disebut ilmu Usada Bali (pengobatan
tradisional Bali).
Pada Jaman Raja Udayana yang
berkuasa di Bali pada abab ke 16, ada seorang Abdi Kerajaan yang
bernama I Gede Basur yang rumahnya ada di salah satu Desa di Daerah
Pengunungan, yaitu di Desa Karang Pengastian.
Pada waktu I Gede Basur masih
hidup pernah menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu Lontar
Durga Bhairawi dan Lontar Ratuning Kawisesan.
Lontar ini memuat tentang
tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti. Ngereh artinya proses perubahan wujud
dari manusia menjadi Leak. Leak adalah wujud siluman jahat (setan).
Desti adalah perwujudan binatang siluman manusia dalam bentuk binatang
yang aneh dan seram.
Adapun Tehnik Ngereh Leak Desti tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam
ajaran Agama Hindu mengenal tiga Kerangka Dasar yaitu Tatwa, Etika,
Upakara. Jadi walaupun menjalankan ilmu pengeleakan mereka tetap
melaksanakan tiga hal yaitu :
a. Tatwa berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan harus menyadari tentang ajarannya.
b. Etika berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan pasti akan melaksanakan mengenai tehnik-tehnik tingkah lakunya.
c.
Upakara berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan sudah
tentunya melaksanakan upakara-upakara seperti menghaturkan sesajen
(banten dalam bahasa bali) sebagai sarana upakara.
Sebelum Ngereh (proses perubahan
wujud) menjadi Leak Desti, orang yang menjalankan pengeleakan terlebih
dahulu melaksanakan beberapa tahapan kegiatan dengan melakukan
berbagai permohonan. Adapun tahapan-tahapan kegiatan ngereh tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Memasang pasirep yaitu mengeluarkan ilmu kesaktian agar semua mahluk hidup yang ada di sekitarnya semuannya tertidur lelap.
b. Mencari tempat ngereh yaitu
mencari tempat yang paling strategis dan aman seperti misalnya di
Kuburan, pada perempatan jalan, atau bisa di sawah yang penting tempat
tersebut sepi.
c. Mempersiapkan upakara berupa sarana banten yang berkaitan dengan ilmu pengeleakan.
d. Melakukan
permohonan-permohonan agar proses ngereh dapat berlangsung sesuai
dengan yang diinginkan kepada Tuhan dalam segala bentuk menifestasinya
yaitu :
Pertama mohon kepada yang
bernama Butha Peteng (perwujudan unsur alam gelap) untuk memagari
tempatnya agar siapa yang lewat supaya tidak melihat, dilanjutkan
kemudian dengan memasang ilmu pengreres (ilmu penakut) agar yang lewat
menjadi ketakutan.
Kedua mohon kepada yang bernama
Butha Keridan (perwujudan unsur alam terbalik) agar pengelihatan orang
bisa terbalik yaitu yang di atas bisa terlihat di bawah.
Ketiga secara berturut-turut
mohon kepada yang bernama Sang Kala Jingkrak, Butha Lenga, Butha
Ringkus, Butha Jengking dan terakhir mohon kepada yang bernama sang
Butha Kapiragan, agar segala permohonannya bisa terkabul.
Sang Kala Jingkrak, Butha Lenga,
Butha Ringkus, Butha Jengking dan Butha Kapiragan adalah nama-nama
Butha Kala yang menguasai Ilmu Pengleakan.
Keempat setelah proses
permohonan selesai, dilanjutkan dengan kegiatan muspa (sembahyang)
dengan posisi badan terbalik yang dilanjutkan dengan nengkleng (berdiri
dengan kaki satu) berjalan nengkleng mengitari "sanggah cucuk" (tempat
menaruh sesajen yang terbuat dari batang bambu), sesuai dengan tingkat
ilmunya dengan posisi putaran berjalan nengkleng kearah kiri.
Dengan melalui ngereh tersebut
diatas maka orang yang menguasai ilmu pengeleakan bisa berubah wujud
sesuai tingkat ilmu pengeleakan yang dikuasainya yaitu kalau tingkat
Desti maka orang tersebut bisa berubah wujud menjadi binatang yang
aneh-aneh dan seram, begitulah ilmu pengeleakan yang dikuasai oleh I
Gede Basur sehingga dia diantara para abdi kerajaan yang paling
ditakuti dan paling diandalkan sebagai Tabeng Dada.
Guru Ilmu Pengiwa leak Desti
Sebagai seorang Abdi Kerajaan I
Gede Basur sangatlah menguasai ilmu pengiwa leak desti. Ilmu pengiwa
adalah ilmu kewisesan dari aliran kiri atau aliran ilmu hitam.
Atas
kedigjayaannya tersebut menyebabkan I Gede Basur menjadi sangat
terkenal sampai ke pelosok desa. Sehingga saat itu banyak sekali orang
yang datang ke rumahnya. Ada yang datang dengan tujuan untuk belajar
ilmu pengiwa, dan banyak pula yang datang hanya untuk mendapat pekakas
atau penganggo atau jimat-jimat sakti atau bertuah sesuai dengan
keinginan orang tersebut.
Banyak pula yang datang untuk
mendapatkan sarana pengleakan di tempat I Gede Basur yang sakti.
Sarana tersebut seperti : pengasren (semacam pelet), yakni sarana
magis agar orang yang bersangkutan menjadi kelihatan selalu cantik dan
tampan, awet muda dan mempunyai daya pikat yang tinggi. Dengan sarana
tersebut orang akan mudah dapat memikat lawan jenis yang
dikehendakinya. Kemudian ada pula yang disebut dengan pengeger (semacam
penglaris) yang dapat menyebabkan si pemakai menjadi laris dalam
berdagang atau berusaha, dengan harapan si pemakai menjadi semakin
kaya. Kemudian ada pula yang disebut dengan pengasih-asih, yakni sarana
yang dapat membuat orang menjadi jatuh cinta kepada orang yang
menggunakan sarana tersebut. Atau dapat pula disebut dengan sarana
guna-guna. Seperti misalnya : guna lilit, guna jaran guyang, guna
tuntung tangis, dan lain-lain macamnya. Ada pula yang datang ke tempat I
Gede Basur hanya untuk mendapatkan penangkeb, yakni sarana gaib atau
mistis agar orang lain atau orang banyak menjadi tunduk. Dengan
demikian orang tersebut dapat mengendalikan, mengarahkan, menguasai,
atau menyetir orang lain atau orang banyak sesuai dengan keinginannya.
Orang yang telah terkena ilmu penangkeb tak ubahnya seperti kerbau yang
dicocok hidungnya, sehingga akan menjadi penurut sesuai perintah atau
keinginan dari orang yang mengenakan ilmu penangkeb.
Dengan tersohornya I Gede Basur
tersebut menyebabkan orang-orang secara silih berganti datang ke
rumahnya di Desa Karang Pengastian. Lebih-lebih pada dewasa bagus atau
pada hari Kajeng Kliwon misalnya, sangat banyak dan ramai orang datang
ke rumahnya dengan berbagai macam keperluan. Diceritakan kemudian I
Gede Basur juga mempunyai banyak sisya atau murid yang belajar ilmu
pengiwa leak desti.
I Gede Basur disertai oleh
seluruh murid-muridnya tekun melakukan dewasraya, mohon kehadapan Hyang
Betari Durga agar pengiwa yang mereka pelajari menjadi sakti dan
manjur. Didahului dengan melakukan penyucian diri. Kemudian tatkala
malam mereka menuju Kayangan Pengulun Setra, memohon kehadapan Hyang
Betari bersaranakan sesajen seperti : sebuah daksina, uang kepeng,
canang, ketipat kelanan, arak berem, injin, dupa, menyan, canang lenge
wangi burat wangi, nyahnyah, gegringsingan, geti-geti, dan pisang mas.
Kemudian duduk bersila di hadapan kayangan, bersemedi memanunggalkan
bayu atau tenaga, sabda atau suara, idep atau pikiran, memohon anugrah
kehadapan Hyang Nini Betari Bagawati atau Ida Betari Durga Dewi.
Kewisesan yang diporolehnya
kemudian disebarluaskan secara rahasia dengan menggunakan sarana
seperti mas, mirah, tembaga, kertas merajah, dan lain-lain. Ada pula
dalam bentuk bebuntilan (bungkusan kecil yang berisikan sarana
tertentu). Si pemakai pengiwa tersebut juga diberikan rerajahan ongkara
sungsang (ongkara terbalik) pada lidah, gigi, kuku, atau bagian tubuh
tertentu lainnya. Atau ada pula penggunaan pengiwa dengan jalan maled
(menelan sarana yang diberikan oleh gurunya). Sarana pengiwa tersebut
dibakar sebelumnya, kemudian abunya dibungkus dengan buah pisang mas,
dan kemudian ditelan. Setelah itu didorong masuk ke dalam tubuh dengan
menggunakan tirta atau air suci.
Selain dari itu, ada pula
praktek pengiwa yang disebut pepasangan, yakni sarana yang ditanam pada
tempat tertentu oleh orang yang bisa melakukan pengiwa. Tujuannya
adalah untuk mengenai korbannya sesuai dengan yang diingini si
pemasang. Dapat berupa sarana tulang manusia yang dibungkus, atau
berupa bubuk tulang yang ditaburkan pada pekarangan rumah orang yang
akan dijadikan korban. Dengan adanya pepasangan itu menjadikan situasi
rumah tersebut menjadi agak lain, agak seram, penghuninya
sakit-sakitan, sering cekcok, dan lain-lain.
Yang lebih hebat lagi ada yang
disebut dengan sesawangan, yakni kemampuan seseorang yang mempraktekkan
ilmu pengiwa hanya dengan membayangkan wajah atau hanya nama dari
calon korban. Sesawangan juga disebut dengan umik-umikan atau
acep-acepan atau doa-doa. Dengan kemampuan ini seseorang yang
melaksanakannya dapat mencapai korbannya, walaupun dia bersembunyi di
balik dinding beton yang tebal dan kuat. Adanya ilmu ini makanya sering
kita mendengar kalimat seperti berikut : “walaupun engkau berlindung
di dalam gedong batu yang terkunci rapat, aku akan dapat mencapaimu”.
Mungkin ilmu sesawanganlah yang digunakan orang tersebut.
Kemudian kalau berbicara
mengenai ilmu kewisesan khususnya pengiwa, maka tidak lengkap kalau
tidak mengetahui ilmu cetik atau cara meracun orang atau korban. Cetik
tersebut identik dengan racun. Ada cetik sekala dan ada cetik niskala.
Cetik sekala diartikan bahwa meracun dengan menggunakan sarana tertentu
yang tampak nyata, seperti cetik gringsing, cetik cadang galeng, cetik
kerikan gangsa, dan lain-lain. Kemudian cetik niskala adalah meracun
korban atau orang dengan sarana yang tidak kelihatan. Cetik ini hanya
mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu pengiwa yang sudah
tinggi. Hanya dengan memandangi makanan atau minuman saja, maka
korbannya akan menjadi sakit seperti yang dikehendaki. Jadi boleh
dibilang cetik ini tanpa memerlukan sarana, karena tidak kelihatan.
Tingkatan pengiwa pun sebenarnya
sangat banyak. Namun karena suatu kerahasiaan yang tinggi, jadinya
tidak banyak orang yang mengetahui. Mungkin hanya sebagian kecil saja
dari nama-nama tingkatan tersebut sering terdengar, karena semua ini
adalah sangat rahasia. Dan tingkatan-tingkatan yang disampaikan pun
kadangkala antara satu perguruan dengan perguruan yang lainnya berbeda.
Demikian pula dengan penamaan dari masing-masing tingkatan ada suatu
perbedaan. Namun sekali lagi, semuanya tidak jelas betul, karena
sifatnya sangat rahasia, karena memang begitulah hukumnya.
Dari sekian macam ilmu pengiwa,
ada beberapa yang sering disebut seperti Bajra Kalika yang mempunyai
sisya sebanyak seratus orang, dan Aras Ijomaya yang mempunyai prasanak
atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di antaranya adalah I
Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala,
Pudak Setegal, Belegod Dewa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran,
Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I
Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada
sekurang-kurangnya empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman
Numit, dan Ketut Belog. Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27
orang. Jadi secara keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak
108 macam bebai.
Di samping itu, ada tingkatan
pengiwa yang mungkin digolongkan tingkat tinggi seperti : Surya Gading,
Brahma Kaya, I Wangkas Candi Api, I Ratna Pajajaran, Garuda Emas,
Siwer Emas, Baligodawa, Surya Emas, dan Sang Hyang Aji Rimrim.
Di lain pihak ada pula
disebutkan bermacam-macam ilmu pengiwa seperti : Kereb Akasa, Pudak
Setegal, Geni Sabuana, Siwa Wijaya, Cambra Berag, Rambut Sepetik,
Maduri Geges, Pengiwa Swanda, Brahma Maya Murti, Aji Calon Arang, Ratna
Geni Sudamala, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Pangenduh, Desti
Angker, Gringsing Wayang, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah
Pertiwi, Sang Hyang Sumedang, I Tumpang Wredha, Penyusup Bayu, Sang
Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Ratu Sumedang, Sang Hyang Sara
Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya yang
mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah. Hanya mereka yang
mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Demikian I Gede Basur menerapkan
dan menyebarkan ilmu pengiwa kepada murid-muridnya yang semakin hari
semakin bertambah banyak. Semua dari mereka telah menjadi orang-orang
yang tangguh dalam urusan pengiwa.
I Gede Basur ini orangnya sangat
terkenal karena kesaktiannya dengan ilmu pengeleakan desti, dan dia
pernah membuat geger orang-orang desanya karena serangan leak destinya,
yang mengakibatkan warga desanya menjadi sangat ketakutan tidak berani
keluar malam hari karena siapa yang keluar pada malam hari akan
diserang oleh leak desti yang bisa mengisap darah manusia.
Untuk lebih jelasnya tentang kisah Leak Desti I Gede Basur, ceritanya adalah sebagai berikut :
I Gede Basur dalam
sehari-harinya hidup sebagai Abdi Kerajaan Udayana yaitu sebagai Tabeng
Dada Kerajaan, yaitu Tabeng artinya pelindung dan dada artinya dada
pada tubuh manusia.
Tabeng Dada ini adalah sejenis Pasukan Khusus Kerajaan yang tugasnya melindungi Raja apabila ada marabahaya.
I Gede Basur ini punya putra satu orang yang bernama I Wayan Tigaron yaitu merupakan putra kesayangan dan putra satu-satunya.
I Wayan Tigaron jatuh cinta pada
Ni Wayan Sukasti yaitu putri dari I Made Tanu, walaupun I Wayan
Tigaron ini orangnya sangat kaya, anak seorang abdi kerajaan, tetapi
cintanya tetap di tolak oleh Ni Wayan Sukasti karena alasannya ia sudah
punya pacar yang barnama I Nyoman Tirta yaitu seorang pemuda tampan
dan bijaksana.
Karena cintanya ditolak oleh Ni Wayan Sukasti, maka I Wayan Tigaron sangat marah dan hal ini disampaikan kepada orang tuanya.
I Gede Basur selaku orang tuanya
sangat sayang pada anaknya dan menyarankan kepada I Wayan Tigaron agar
mencari dan mencintai gadis lain karena di desanya banyak juga
gadis-gadis cantik yang tidak kalah cantiknya dengan Ni Wayan Sukasti.
Dinasehati oleh orang tuanya, malah I Wayan Tigaron mengancam mau bunuh diri apabila tidak bisa kawin dengan Ni Wayan Sukasti.
Melihat anaknya nekad seperti
itu, maka I Gede Basur terpaksa mengajak anaknya I Wayan Tigaron untuk
langsung melamar Ni Wayan Sukasti ke rumahnya.
Setelah sampai di rumah Ni Wayan
Sukasti, maka I Gede Basur langsung di sapa oleh I Made Tanu yaitu
orang tua Ni Wayan Sukasti dan menanyakan tentang maksud
kedatangannya.
I Gede Basur menjawab bahwa
kedatangannya kesini adalah tidak ada lain untuk melamar Ni Wayan
Sukasti untuk dijadikan istri I Wayan Tigaron.
I Made Tanu tidak berani membuat
keputusan dan soal cinta tetap menyerahkan penuh pada putrinya Ni
Wayan Sukasti, sedangkan Ni Wayan Sukasti sendiri tidak keluar-keluar
dari kamarnya karena ia tidak mencintai I Wayan Tigaron.
Belum selesai pembicaraan I
Gede Basur dengan I Made Tanu, tiba-tiba datang dua orang laki-laki
yang ternyata I Nyoman Tirta bersama ayahnya.
Baru yang dilihat I Nyoman Tirta
datang kemudian Ni Wayan Sukasti dengan segera keluar dari kamarnya
menumui I Nyoman Tirta dan menyapa dengan ramah dengan berkata Kakak
Nyoman baru datang dan langsung mempersilahkan kepada I Nyoman Tirta
dan Ayahnya duduk.
Melihat kelakuan Ni Wayan
Sukasti demikian, maka I Gede Basur merasa tersinggung dan sangat
marah karena merasa dipermalukan di depan orang yang bernama I Nyoman
Tirta.
I Gede Basur karena merasa
dirinya sebagai Abdi Kerajaan yaitu sebagai Tabeng Dada Kerajaan, maka
dia maunya memaksa I Made Tanu agar menyerahkan putrinya Ni Wayan
Sukasti supaya menikah dengan I Wayan Tigaron.
I Made Tanu tidak bisa berbuat apa-apa karena soal cinta dia menyerahkan sepenuhnya kepada putrinya.
Ni Wayan Sukasti menolak
mentah-mentah lamaran paksa dari I Gede Basur, sehingga hal inilah yang
membuat I Gede Basur menjadi marah dan penasaran.
I Gede Basur mengancam Ni Wayan
Sukasti dengan serangan desti yang membahayakan hidupnya dan I Gede
Basur tanpa pamit kepada I Made Tanu langsung mengajak putranya I Wayan
Tigaron pulang ke rumahnya.
Leak Aneka Rupa
Diceritakan ketika tengah malam
tiba I Gede Basur memanggil istri dan putranya I Wayan Tigaron untuk
duduk berkumpul di bale daja (balai yang ada di sebelah utara). I Gede
Basur kemudian memberikan wejangan kepada semuanya “wahai istri dan
anakku, karena Ni Wayan Sukasti tidak mau kawin dengan I Wayan Tigaron,
maka kita semua sepatutnya waspada dan hati-hati. Karena tanpa
diduga-duga musuh pasti akan menghampiri dan menyerang kita. Untuk
melindungi diri, maka aku I Gede Basur akan menurunkan semua yang aku
miliki untuk kalian semua. Ilmu pengiwa yang dulu dianugrahkan oleh Ida
Betari Durga Bhairawi, akan aku turunkan kepadamu. Ilmu ini akan aku
masukkan ke dalam jiwa ragamu sekalian. Ilmu ini sangatlah rahasia, dan
tidak boleh dibicarakan atau digunakan sembarangan”. Demikian I Gede
Basur memulai acara tersebut.
Untuk persiapan tersebut, I Gede
Basur menyuruh istri dan anaknya untuk membersihkan diri dan
berkonsentrasi. Ketika semuanya sudah bersih dan ngulengin kayun
(berkonsentrasi), pada saat itu I Gede Basur memulai prosesnya. Istri
dan anaknya diberikan rerajahan (gambar mistis atau magis) yang
berisikan aksara atau tulisan sakti, sambil berkomat-kamit mengucapkan
mantra sakti. Rerajahan tersebut diberikan pada bagian buku-buku
(persendian), layah (lidah), mata, gigi, gidat (kening), dan paban
(ubun-ubun). Dilengkapi pula dengan sesaji yang diperlukan. Setelah
semua dirajah, maka I Gede Basur kemudian kembali berkata “sekarang
dengarkanlah baik-baik apa yang aku katakan mengenai ilmu yang aku
turunkan kepadamu sekalian. Agar tidak salah dalam menggunakannya
dikemudian hari. Kamu istriku, aku berikan ilmu yang bernama Aji
Ratuning Kawisesan. Sangat sakti ilmu tersebut. I Wayan Tigaron aku
turunkan ilmu yang bernama Aji Siwer Emas. Demikian adalah ilmu
kewisesan pengiwa yang aku turunkan kepadamu. Ilmu ini adalah ilmu atau
ajian yang sangat rahasia. Hanya kita saja yang tahu semua ini, dan aku
harap tidak ada yang bercerita sembarangan mengenai ilmu yang kita
miliki”. Demikian I Gede Basur memberikan wejangan setelah menurunkan
ilmu tersebut dan mulai saat itu istri dan anaknya menjadi sisya atau
murid-muridnya.
Selain istri dan anaknya, I Gede
Basur juga diceritakan mempunyai sisya atau murid-murid sebanyak tiga
puluh tujuh orang. Semuanya berasal dari desa lain jauh dari Desa
Karang Pengastian. Mereka diusir dari desanya masing-masing karena
kentara mempraktekkan ilmu pengeleakan di desanya terdahulu. Setelah
mereka diusir, kemudian mereka berkumpul dan menjadi muridnya I
Gede Basur. Mereka tersebut semuanya telah menguasai ilmu kewisesan
pengiwa dalam berbagai tingkatan. Mereka telah melakukan ilmu desti,
teluh, dan terangjana. Mereka telah lihai dalam membuat cetik, menebar
pepasangan, bebai, dan lain-lain. Murid-murid ini sangatlah beraneka
ragam kewisesannya.
Semenjak menginjakkan kakinya di
Desa Karang Pengastian I Gede Basur telah membentengi dirinya dengan
berbagai gegemet (jimat) pelindung. Demikian pula dengan pekarangan
rumahnya yang penuh dengan berbagai macam pelindung yang kekuatannya
sangat tinggi. Berbagai jenis tumbal rerajahan (pelindung) dipasang di
tengah pekarangan rumah, di angkul-angkul, dan lain-lain.
Dengan demikian orang yang ingin
berbuat tidak baik akan melihat rumah I Gede Basur dilindungi
kerangkeng besi yang kokoh dan tidak bisa ditembus. Sehingga orang
tersebut akan mengurungkan niatnya untuk mencelakai si pemilik rumah.
Atau dengan tumbal rerajahan yang digelar tersebut mengakibatkan rumah
tersebut kelihatan kosong atau tak berpenghuni, atau rumah I Gede Basur
tampak seperti lapangan luas yang kosong. Ada pula tumbal rerajahan
yang memungkinkan orang masuk ke dalam pekarangan rumah, namun setelah
sampai di dalam pekarangan mereka menjadi bingung mencari jalan keluar.
Sehingga orang yang berbuat jahat tersebut menjadi ketahuan atau
kentara, dan tampak kebingungan. Ada pula pengaruh tumbal rerajahan
yang menyebabkan orang telah masuk ke pekarangan rumah, kemudian
mengalami tipuan pandangan, seolah-olah ia berada dalam air yang dalam.
Sehingga orang tersebut bergelagat seperti berenang di laut. Padahal
itu, hanyalah sebuah tipuan maya, akibat dari tumbal rerajahan yang
digelar.
Setelah beberapa lama semenjak I
Gede Basur menurunkan ilmunya kepada anggota keluarganya, kini ia akan
merencanakan untuk mengadakan pembalasan sesuai dengan apa yang ia
katakan di hadapan Ni Wayan Sukasti beberapa hari sebelumnya. I Gede
Basur mulai menyiapkan segala sesuatu sesuai yang diperlukan untuk
tujuan tersebut. termasuk pula persiapan mental mereka yang akan
diterjunkan dalam aksi balas dendam terhadap orang-orang yang ada di
rumah Ni Wayan Sukasti. I Gede Basur berencana mengerahkan semua
kekuatan yang dimilikinya dengan melibatkan seluruh sisyanya. Setelah
semuanya merasa siap kini I Gede Basur hanya tinggal menunggu hari yang
baik untuk hal tersebut.
Setelah beberapa lama menunggu,
maka hari baik yang ditunggu-tunggu telah datang. Hari tersebut adalah
hari Weraspati Kajeng Kliwon nemoning tilem (hari kemis kliwon
bertepatan dengan bulan mati). Pada mala hari I Gede Basur yang
diiringi oleh istri, anak, dan seluruh sisyanya berangkat menuju ke
setra atau kuburan yang letaknya jauh di pinggir Desa Karang
Pengastian.
Suasananya sangat gelap, karena
bertepatan dengan tilem, suasana sunyi senyap karena mereka berjalan di
tengah malam. Sangat terasa keangkeran malam itu. Ditambah pula dengan
kuburan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon besar seperti pohon beringin,
kepuh, kepah, pule, dan tanaman jaka tunggul. Suasana menjadi mencekam
yang terasa membuat bulu kuduk seluruh badan menjadi berdiri.
Sesampainya di setra, rombongan I
Gede Basur mengambil tempat di tengah tunon atau pemuwunan (areal
pembakaran mayat). Di kegelapan malam mereka mempersiapkan segala
sesuatunya untuk menjalankan ilmu pengeleakan tingkat tinggi dan memuja
Ida Betari. I Gede Basur duduk bersila di tengah-tengah memusatkan
pikiran, menyatukan bayu, sabda, idep, mohon restu dan anugrah
kehadapan Ida Betari agar pengiwa yang digelar menjadi sempurna dan
sakti mandraguna.
Sambil mata terpejam, I Gede
Basur berkomat-kamit mengucapkan mantra-mantra sakti dan rahasia.
Demikian pula I Gede Basur didampingi oleh para sisyanya yang semua
telah mengenakan kamben duur entud (kain setinggi lutut) dengan rurub
putih merajah (kain putih bergambar mistis). Para sisya semuanya
mengelilingi I Gede Basur sambil menari-nari, dangkrak-dingkrik,
dangklang-dengkleng, dengan rambut megambahan (terurai). Semuanya larut
dalam konsentrasi dan juga tarian mereka masing-masing, sampai
akhirnya penestian mereka semuanya tasak (mencapai puncak). Ketika
semuanya telah mencapai puncaknya, maka semuanya telah nyuti rupa
(berubah wujud) menjadi berbagai macam rupa leak sesuai dengan tingkat
ilmu yang dikuasai oleh murid-murid I Gede Basur. Ada yang berwujud
bojok (kera), bangkal mecaling renggah (babi bertaring panjang),
kambing, gegendu kebo mebatis telu (kerbau berkaki tiga), gegendu jaran
mebatis tetelu (kuda berkaki tiga), cicing bengil (anjing kurus dan
kotor), kreb kasa (untaian kain panjang putih), bade (usungan jenasah
bertingkat), dan berbagai macam rupa yang menyeramkan. Para leak
semuanya menjadi semakin riang gembira menari-nari ketika hujan gerimis
turun dan membasahi tanah yang kering. Bau angid (gurih) yang muncul
dari tanah kering tersiram air tersebut menambah gembiranya para leak.
Pada puncaknya, I Gede Basur
kemudian terbangun dari duduknya dan menuding kepada semua leak
muridnya dan berkata “wahai engkau muridku semuanya yang telah berubah
wujud, laksanakanlah tugasmu sekarang sesuai dengan rencana kita.
Pergilah ke rumah Ni Wayan Sukasti sekarang juga. Hancurkan Sukasti dan
keluarganya itu, sakiti semua yang hidup disana agar mereka semua
mampus. Berbuatlah sesuka hatimu disana. Tebarkan cetik, bebai, upas,
wisya dan lain-lain yang kau miliki, sehingga mereka semuanya menjadi
menderita. Keluarkan segala ilmu leak yang telah aku ajarkan kepadamu.
Aku akan mengawasi engkau semua dari sini”. Demikian perintah I Gede
Basur kepada seluruh sisyanya. Segera semuanya berubah menjadi endih
(bola api) beraneka warna dan beterbangan ke angkasa pergi menuju Desa
tempat tinggal Ni Wayan Sukasti dan keluarganya.
Apa yang menjadi ancaman I Gede
Basur menjadi kenyataan yaitu pada hari ketiganya Ni Wayan Sukasti
diserang desti sehingga ia jatuh sakit yaitu perutnya dirasakan sangat
sakit kemudian muntah darah dan akhirnya lemas tak sadarkan diri.
I Made Tanu orang tua Ni Wayan
Sukasti sangat panik dan kemudian dia minta tolong kepada seorang
Balian (dukun) untuk mengobati penyakit Ni Wayan Sukasti.
Balian ini memang kebetulan
datang ke rumah Ni Wayan Sukasti dan berlagak sombong bahwa dia adalah
seorang Balian Sakti yang bisa menyembuhkan segala penyakit termasuk
penyakit kena leak Desti.
Karena penyakit Ni Wayan Sukasti
sangat parah, maka Balian tersebut tidak bisa menyembuhkan Ni Wayan
Sukasti dan malah Balian itu sendiri diserang oleh Leak Desti, sehingga
Balian tersebut sakit perut dan muntah darah tak sadarkan diri.
Ni Wayan Sukasti punya Kakek
yang sering dijuluki dengan nama Kakek Wiku yaitu seorang Kakek yang
menguasai ilmu pengobatan Usada Bali (Obat Tradisional Bali) dan sangat
sakti.
“Siat Peteng” Mengadu Kewisesan
Diceritakan I Made Tanu minta
bantuan kepada ayahnya yaitu Kakek Wiku dan telah mengumpulkan tokoh
masyarakat dan penduduk yang mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu
kewisesan. Mereka semua dikumpulkan di rumah Kakek Wiku dan diberikan
pengarahan mengenai rencana ada pertempuran dengan I Gede Basur dan
sisyanya di malam hari.
Waktu yang ditetapkan untuk
pertempuran telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama
dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan
juga sesabukan yaitu berupa jimat-jimat magis yang diyakini bisa
melindungi dirinya. Bagi mereka yang menguasai ilmu kanuragan tinggi,
langsung berangkat melalui udara, terbang menuju Desa Karang
Pengastian. Sedangkan yang lainnya melakukan perjalanan darat secara
beramai-ramai berjalan di tengah kegelapan malam. Kakek Wiku sendiri
tidak ikut pada saat itu, karena masih melakukan tapa samadi dalam
rangka ngeregepan kesaktian yaitu menunggalkan bayu (tenaga), sabda
(suara), idep (pikiran) untuk membangkitkan ilmu kesaktian dalam
dirinya.
Karena kesaktian I Gede Basur,
maka kedatangan I Made Tanu dan teman-temannya telah diketahui
sebelumnya. Sehingga I Gede Basur memerintahkan kepada seluruh
sisya-sisyanya untuk bersiaga di perbatasan Desa Karang Pengastian. I
Gede Basur beserta sisyanya telah bersiaga menyambut kedatangan para
rombongan I Made Tanu yang akan menggempur I Gede Basur dan sisyanya. I
Gede Basur telah menggelar semua ilmu yang dimiliki dan telah
menyengker atau memagari Desa Karang Pengastian dengan penyengker atau
pagar gaib, sehingga kekuatan musuh tidak dapat menembus pertahanan
tersebut.
Pada tengah malam, sampailah
para rombongan I Made Tanu di perbatasan Desa Karang Pengastian. Mereka
langsung menggelar ajian yang mereka miliki dan menyerang musuh yang
telah menghadang. Serangan tersebut kemudian dihadang oleh para murid I
Gede Basur, sehingga terjadilah siat peteng (pertempuran ilmu
kanuragan di malam hari) yang sangat dasyat. Bola-bola api beterbangan
di antara kedua belah pihak. Taburan cahaya gemerlap aneka warna di
angkasa yang saling berkelebat, berkejar-kejaran, dan saling
berbenturan. Langit Karang Pengastian pada mala itu bagaikan kejatuhan
bintang dari langit yang jumlahnya ribuan. Memang sungguh-sungguh
digjaya mereka semua. Tidak beberapa lama siat peteng berlangsung,
serangan dari para rombongan I Made Tanu dapat dipatahkan oleh
ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh murid-murid I Gede Basur. Para
rombongan I Made Tanu berhamburan berlari meninggalkan arena
pertempuran karena terdesak. Mereka berusaha untuk menyelematkan diri.
Setelah mengalami desakan dari pasukan leak Desti I Gede Basur di
Karang Pengastian, maka para rombongan I Made Tanu memutuskan untuk
berbalik dan kembali ke rumahnya, serta melaporkan semuanya kehadapan
kakek Wiku yaitu Kakek Ni Wayan Sukasti.
Kekalahan I Made Tanu
menyebabkan pasukan leak Desti bergembira. Mereka semua tertawa ngakak
yang suaranya nyaring dan keras membelah angkasa. Suaranya mengalun,
melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara bukit-bukit.
Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam hari tersebut,
mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola api saling
berkejar-kejaran merayakan kemenangannya.
Kembali secara sekilas
diceritakan keadaan di rumah Ni Wayan Sukasti. Para lelaki desa yang
dewasa setiap hari berjaga-jaga pada malam hari. Sedangkan yang
perempuan tinggal di rumah dan berkumpul dalam jumlah banyak. Karena
tidak ada yang berani tidur atau tingal di rumah sendirian. Sebab
suasana di rumah Ni Wayan Sukasti pada saat itu masih sangat mencekam.
Lolongan anjing masih terus terdengar di malam hari. Mereka terus
berjaga-jaga dan selalu memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar
segera dibebaskan dari masalah penyakit desti tersebut. Demikian
situasi di rumah Ni Wayan Sukasti setiap hari.
Kembali sekarang diceritakan
mengenai perjalanan I Made Tanu beserta dengan rombongan yang kalah
perang. Pada pagi hari mereka telah sampai di rumah Kakek Wiku. Segera
mereka menghadap Kakek Wiku dan melaporkan segala sesuatunya.
Melihat rombongan I Made Tanu
yang datang tampak utuh semuanya, Kakek Wiku tampak merasa gembira.
Namun ketika mendengar semua laporan dari I Made Tanu, Kakek
Wiku menjadi kaget dan semakin susah hati beliau.
I Made Tanu berkata kepada
ayahnya (Kakek Wiku) : “Mohon ampun ayah, saya permaklumkan bahwa
murid-murid I Gede Basur benar-benar teguh (kuat). Rombongan kami tidak
mampu mengalahkannya.” Demikian permakluman I Made Tanu kehadapan
ayahnya Si Kakek Wiku.
Kakek Wiku yang bijaksana
kemudian bersabda “wahai Made Tanu beserta semua para kanti, kalah
menang dalam peperangan sudah menjadi hukumnya. Janganlah berputus asa.
Karena masih ada waktu dan masih ada cara lain utnuk menumpas I Gede
Basur beserta dengan antek-anteknya. Gempur kembali I Gede
Basur. Kalau tidak mampu di malam hari, gempurlah ia di siang hari.
Kalau tidak bisa dengan seratus orang, maka gempurlah ia dengan seribu
orang”. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning ring payudhan
(kewajiban dalam pertempuran). Dalam Shanti Parwa disebutkan bhawa
apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir muncrat akan
menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan menuju
Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman.
Semuanya itu adalah merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya
yang digolongkan yadnya utama”. Demikian kakek Wiku memberikan wejangan
kepada I Made Tanu dan para kantinya (teman- temannya) yang hampir
putus asa karena kalah perang.
Mendengar wejangan tersebut, I
Made Tanu beserta dengan para kantinya merasakan hidup kembali dan
bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon (tenaga dalam),
sehingga semangatnya tumbuh kembali. I Made Tanu kemudian berkata :
“Baiklah ayahnda, sangat senang saya mendengar wejangan tersebut.
Sekarang saya sadar dan yakin akan diri. Saya akan mebela pati dan
metoh urip (membela mati-matian dan menyabung nyawa) menghadapi I Gede
Basur beserta dengan murid-muridnya”. Pernyataan I
MadeTanu tersebut dibarengi oleh seluruh para kantinya.
“Baiklah kalau begitu, Aku
sebagai kakek Ni Wayan Sukasti sangat menghargainya. Untuk penyerangan
kali ini aku akan membantunya dengan beberapa sissya kakek yang
terpilih sebanyak dua ratus orang, sedangkan aku sendiri yang akan
menghadapi langsung I Gede Basur.” Semua sisya ilmu putih akan mengawal
dan membantu I Made Tanu dalam menumpas kejahatan yang dilakukan oleh I
Gede Basur.
Setelah semua keputusan Kakek
wiku disampaikan, para sisya ilmu putih kemudian membubarkan diri untuk
persiapan penyerbuan kembali pada keesokan harinya. Segala sesuatu
perlengkapan segera dipersiapkan seperti senjata tajam berupa tombak,
keris, klewang, dan lain-lain. Demikian pula dengan berbagai sarana
pelindung badan yang gaib sebagai sarana penolak atau penempur leak,
sarana kekebalan, semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit
(tempat rahasia). Yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan mengenai
perbekalan makanan dan minuman yang diperlukan selama penyerangan.
Ketika semua persiapan dianggap rampung, maka mereka pun istirahat agar
tenaganya cukup kuat untuk penyerangan besok.
Hari yang ditentukan untuk
penyerangan telah tiba, maka pada tengah malam penyerangan segera
dilakukan dan pertarunganpun terjadi pada malam hari dengan ilmu
kesaktiannya masing-masing, yang mana Ilmu Kesaktian I Gede Basur lebih
rendah daripada Ilmu Kesaktian Kakek Wiku sehingga I Gede Basur pada
pertarungan tersebut kalah.
I Gede Basur Haturkan Sembah
Dalam keadaan yang tidak berdaya
kemudian I Gede Basur mengucapkan kata-katanya terakhir : “Wahai Kakek
Wiku dan Made Tanu, sudahi peperangan ini sampai disini, sekarang mari
kita bersatu kembali semuanya karena kita adalah satu dan tunggal
kawitan. Setelah sekian lama kita bersengketa dan bermusuhan kini mari
kita bersatu kembali. Wahai Made Tanu, semua yang saya lakukan ini
adalah karena saya ingin agar anak saya I Wayan Tigaron bisa
mendapatkan gadis idamannya Ni Wayan Sukasti untuk dijadikan istri.
Demikian juga untuk mengingatkan
kepada seluruh manusia agar selalu ingat dalam persaudaraan dan tidak
melupakan kawitannya”. “Pada akhir dari hidup saya di dunia ini, saya
mohon ampun kehadapan Made Tanu. Karena saya telah berbuat yang
menyebabkan Ni Wayan Sukasti sakit. Saya harus menebus semua dosa-dosa
yang telah saya perbuat, dan menanggung semua karmapala atas semua yang
telah saya perbuat. Itulah yang dapat saya katakan, dan sekarang saya
mohon pamit”. Demikian I Gede Basur menyampaikan kata-kata terakhirnya
kehadapan semua yang ada di sana, sambil menyakupkan kedua belah
tangannya. Ketika itu pula I Gede Basur dengan tenang menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Hujan gerimis mengiringi kepergian I Gede
Basur ke Sunialoka. Suasana yang tadinya penuh dengan kebencian dan
kemarahan, kini berubah menjadi suasana haru.
Kematian I Gede Basur kemudian
membuat geger Desa Karang Pengastian. I Gede Basur dinyatakan
bersalah atas semua tingkah lakunya tersebut.
Berdasarkan atas hal tersebut,
maka Kakek Wiku memerintahkan agar memperlakukan jasad I Gede Basur
untuk dibuatkan upacara sebagaimana mestinya. Demikian pula seluruh
murid-murid I Gede Basur yang semuanya adalah rakyat Desa Karang
Pengastian yang gugur semuanya segera dibuatkan upacara. Kakek Wiku
menitahkan untuk melaksanakan upacara Pitra Yadnya atau pengabenan
secara bersama-sama atau ngerit.
Mengingat tugas yang dititahkan
oleh Kakek Wiku telah selesai, para sisya Kakek Wiku berniat kembali
pulang ke rumah masing-masing, Kakek Wikupun tidak berkeberatan. Namun
sebelum bertolak, Kakek Wiku berkata kepada para sisya : “Wahai seluruh
sisya, sekarang musuh telah dapat ditumpas. Terima kasih yang tak
terhingga saya ucapkan kepada para sisya. Sekarang saya akan
menyelesaikan urusan upacara ini semuanya terdahulu.
Sekarang diceritakan mengenai
kesibukan dari seluruh masyarakat yang akan menyelenggarakan upacara
pembersihan terhadap jasad para korban yang meninggal dalam suatu
ngaben massal atau ngerit. Para sisya Kakek Wiku dan para murid I Gede
Basur yang meninggal dalam pertempuran mendapat perlakuan upacara yang
sama. Semua jasadnya akan dibakar di setra agung untuk mempercepat
pengembalian jasadnya ke alam menjadi unsur-unsur alam yang disebut
dengan Panca Maha Buta yang terdiri dari bayu (angin), apah (air), teja
(panas atau sinar), pertiwi (tanah), dan akasa (ruang kosong).
Demikian agar jiwa mereka mendapatkan kesucian dan ketenangan, untuk
menuju ke alam sunya (akhirat) sesuai dengan karmanya masing-masing
selama hidup di mercapada (dunia ini).
Sebab para krabat dan handai taulan akan mengantar si meninggal hanya
sampai di tempat pembakaran mayat atau kuburan. Setelah itu akan
membalikkan badan dan meninggalkan si meninggal. Hanya subhakarma dan
asubhakarma (perbuatan baik dan perbuatan buruk) yang pernah dilakukan
yang akan menemani si meninggal menuju alam berikutnya. Sedangkan badan
atau paras muka yang cantik atau tampan akan menjadi hancur, harta
benda, dan lain-lain semuanya tidak bisa dibawa serta. Hanya karmalah
yang akan menjadi pengikut setia. Demikian diungkapkan dalam pustaka
suci Sarasamuscaya.
Diceritakan sangat ramai sekali
yadnya yang dibangun masyarakat Desa Karang Pengastian secara
bersama-sama dan bergotong royong. Berbagai macam petulangan (wadah
tulang) dibuat, demikian pula dengan bade (usungan jenasah) dibuat
dengan seindah mungkin. Ada bade bertumpang pitu (tingkat tujuh),
tumpang sanga (tingkat sembilan), ada lembu hitam, lembu putih, ada
pula berbentuk singa. Semuanya dibuat seindah mungkin yang dibuat oleh
para undagi (tukang wadah atau tukang bade). Dengan beraneka warna
kapas yang ditempatkan pada sarana bade tersebut.
Para wanita sibuk mempersiapkan
tetandingan-tetandingan yang diperlukan untuk upacara ngaben tersebut.
Setelah semuanya selesai dipersiapkan maka upacara pengabenan tersebut
pun diselenggarakan dengan mengambil tempat di pemuwunan setra agung.
Gambelan angklung, gong saron, dan beleganjur sudah saling bersahutan
dari sejak pagi. Semua wadah, lembu, di berangkatkan menuju ke tempat
upacara. Sangat ramai kalau diceritakan. Ketika itu dipentaskan tari
ketekok jago, sebagai tari pengantar sang jiwa menuju ke suniakola. Ida
Sang Sulinggih memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan
memberikan penyucian kepada semua arwah yang diaben. Dan pada akhir
upacara tersebut, semua tulang-tulang dihanyutkan ke segara (laut).
Berselang satu bulan tujuh hari
semenjak upacara pengabenan tersebut, kemudian dilakukan upacara
memukur atau atma wedana atau meligia, sampai akhirnya para pitra
(atma) yang disucikan tersebut dilinggihkan (distanakan) di merajan
rong tiga atau tempat suci keluarga masing-masing. Dengan demikian,
rentetan upacara Pitra Yadnya tersebut telah rampung. Dengan harapan
semua yang telah meninggal mendapatkan kesucian dan ketenangan, dan
tidak ada lagi atma kesasar (roh gentayangan). Di samping itu pula,
bagi mereka yang masih hidup agar diberkahi kesejahteraan.
Terhadap sisya yang masih hidup,
namun mengalami luka-luka juga mendapatkan perawatan. Mereka semua
diberikan obat, termasuk pula mereka yang terkena imbas ilmu hitam
ketika siat peteng terdahulu. Semuanya mendapatkan perhatian
sungguh-sungguh, atas kebijaksanaan dari Kakek Wiku. Diceritakan
setelah beberapa lama kemudian, semua prajurit yang terluka dan kena
imbas ilmu hitam mengalami kesembuhan seperti sedia kala atas asung
wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa (atas kebesaran dan
kemahakuasaan Tuhan).
Diceritakan Ni Wayan Sukasti
bahwa, dengan meninggalnya I Gede Basur, maka Ni Wayan Sukasti akhirnya
sembuh seperti sedia kala tanpa diobati dan kemudian dilangsungkan
dengan acara pernikahan antara Ni Wayan Sukasti dengan I Nyoman Tirta.
Leak Desti yang merupakan
warisan dari I Gede Basur, sampai saat sekarang ilmu tersebut masih
berkembang di Bali, karena ada generasi penerusnya sebagai pewaris
pelestarian budaya di Bali.
Sumber:http://agusgamauk.blogspot.com/2011/02/tabeng-dada-gede-basur-penguasa-ilmu.html#more
Tidak ada komentar:
Posting Komentar