Air,
Agama Tirta dan Pariwisata Bali
Ada yang dilupakan
oleh sebagian besar masyarakat Bali dalam menata pembangunan Bali, yaitu air.
Air dalam sejarah peradaban Bali memiliki peran paling vital, baik secara
spiritual maupun material. Teknologi irigasi tradisional, pola pengorganisasian
pembagian air, ritual dan demokrasi dalam penjatahan air di daerah-daerah
pertanian, telah mengkristal menjadi ”institut” subak. Ini menjadi kebanggaan
kita semua orang Bali, sebagai sebuah hasil kearifan masyarakat Bali. Walaupun
kalau kita jujur, sebagian dari kita tak banyak mengerti kearifan leluhur yang
diwariskannya dalam tradisi subak, karena kaki dan tangan generasi kita
kebanyakan tak pernah menyentuh lumpur sawah dan tegalan. Kita lebih akrab
dengan jalan raya, pertokoan, pelataran hotel, sekolah pariwisata dan
institusi-institusi modern. Agama masyarakat
Bali, sebelum kemerdekaan dan era keindonesiaan, oleh generasi 1920-an lebih
condong disebut sebagai Agama Tirta. Bacalah kembali dialog-dialog dalam bentuk
tulisan di majalah atau terbitan era itu, yaitu Surya Kanta, Jatayu, dan Bali
Adnyana.
Dalam nama Agama
Tirta ini, secara verbal sudah menyatakan bahwa air/tirta menduduki posisi
paling hakiki, dan paling sakral. Hingga kini, kalau kita amati secara
mendalam, adakah sebuah upakara/ritual di Bali yang bisa di-puput tanpa tirta?
Tidak ada. Upacara selalu terkait dengan mata air, beji dan patirtan. Tak ada
pewalian atau odalan tanpa rangkaian mendak tirta (menjemput tirta). Ini sebuah
bentuk sublim penghargaan terhadap ibu. Ini bisa kita lihat dari roh suci yang
menjaga sumber air dan sungai selalu feminin, bergelar Dewi, Ratu Ayu, atau
Batari. Bukankah ini sebuah warisan “pelajaran gender” dan feminisme yang
diturunkan dalam ritual?
Dalam tradisi tani,
bila sebuah subak mengawali sebuah masan nandur (masa tanam), selalu dimulai
dengan upacara magpag toya (menjemput air). Upacara ini dilakukan di Ulun Suwi
atau Bedogol. Yang secara alit (sederhana) dilakukan dengan sarana upakara
berupa pejati, nasi takilan, beserta daging belalang. Yang lebih besar lagi
atau utama, disertai dengan sebuah tumpeng legit agung. Kalau kita melihat
dengan kaca mata “modern” atau “semiotik”, bukankah ini sebuah metafor
penyelamatan lingkungan? Tidakkah ini sebuah pesan untuk menyadari bahwa air
sebagai urat nadi dan napas kehidupan kita?
Secara spiritual,
kearifan ini dijabarkan lewat ritual. Dalam prosesi ritualnya, masyarakat
dipertemukan untuk melakukan pembagian kerja dalam membuat atau mempersiapkan
segala aci-aci atau sesajinya. Bukankah ini sebuah mekanisme tradisional untuk
menguatkan sosial kapital kita dengan yang bertumpu pada rasa selulung segilik,
selulung sebayantaka dan paras paros?
Dalam masyarakat
tani, penghargaan atas air dan kehidupan, menjelma dalam rasa bakti di hadapan
Ida Batari Danu. Dalam upacara ngalapin (syukuran sebelum panen) di hadapan
Batari Sri atau Nini. Institusi subak, Agama Tirta, Ida Batari Danuh/Dewi Danu,
Dewi Sri, bertitik temu menjadi “mata air” peradaban Bali. Dari sinilah
kesenian-kesenian Bali lahir, sebagai persembahan dan rasa syukur terhadap Dewi
Sri dan Batari Danu. Dari tanah pertanianlah tradisi ngayah muncul. Walaupun secara
filosofis kita kebanyakan menyadarinya bahwa budaya kita bermula dari budaya
agraris, ritus tani dan kearifan/penghargaan terhadap air, namun di dalam
tindakan: kita sudah terlalu jauh mengkhianatinya. Atau, kita sebatas
menjadikannya propagada dalam istilah Tri Hita Karana. Kita terlalu banyak
berselingkuh dengan kepentingan-kepentingan untuk “memotong kompas” karena kita
tidak sesabar leluhur kita dalam kesederhanaan hidup. Di tengah “badai
ketergiuran” kita terpancing untuk bergerak maju secepatnya. Namun, apakah kita
tahu sedang menuju ke mana kita? Tidakkah kita telah kehilangan arah dan
keseimbangan? Tidakkah kita cenderung telah menjadikannya ritual dan budaya
tani, kesenian-kesenian kita sebagai bahan baku yang kita jual?
Kita sekarang
nampaknya sedang dihadapkan pada situasi memilih posisi dalam kasus di atas.
Melukai petani dengan mengalirkan air untuk kepentingan wisatawan atau memihak
petani dengan mengalirkan air untuk kepentingan persawahan? Tidakkah krisis air
yang terjadi di wilayah pertanian dan pariwisata sebagai akibat kita terlalu
berpihak pada “putra mahkota” pariwisata? Kita dituntut bersikap arif agar
keduanya dapat tempat. Kalau kita percaya
bahwa subak, Agama Tirta, Batari Danuh/Dewi Danu, Dewi Sri adalah titik berangkat
peradaban Bali, di tengah situasi kita yang seperti ini, sudah seharusnya kita
merunut kembali silsilah peradaban kita. Kita mesti eling dan jagra, kembali ke
titik mana kita berangkat, mata air peradaban kita.
Kita seharusnya
melirik dan mengelu-elukan pertanian bukan hanya karena pariwisata sedang keok.
Tetapi, atas kesadaran bahwa peradaban kita beribu pada pertanian (Baca: agama
kita adalah Agama Tirta). Yang terpenting, harus ada pemetaan secara jelas
daerah-daerah mana saja yang dipertahankan sebagai daerah pertanian dan
menjamin kesejahteraan petani-petaninya agar mereka tidak terpancing menjual
tanah pertanian mereka untuk dijadikan hotel dan art shop. Menyadari bahwa
pertanian adalah sight seeing dari wisatawan, dengan menghancurkan pertanian
dan persawahan, sesungguhnya pariwisata sedang membunuh dirinya sendiri. Dan,
kalau kita memilih untuk semata-mata mengalirkan air untuk waterfall (baca:
pariwisata), tanpa perhatian pada pertanian, sebaiknya istilah Agama Tirta ini
kita tambahi di belakangnnya dengan kata ‘wisata’: Agama Tirta Wisata.
Sumber:
http://berbudaya.com/2012/04/16/air-agama-tirta-dan-pariwisata-bali/
Can titanium rings be resized? - Tiowa-CTA.com
BalasHapusIn my experience, the construction of these 2016 ford fusion energi titanium titanium rings titanium apple watch is very difficult and it Titanium rings oakley titanium sunglasses will be trekz titanium added to the infiniti pro rainbow titanium flat iron wall to